Oleh: Dedi Saputra,S.Sos.,M.I.Kom
JAMBI - Debat kandidat Wali Kota Jambi kali ini seolah menjadi kisah epik yang terpahat di tengah panggung demokrasi Kota Jambi.
Bagaikan Odysseus yang tangguh menghadapi berbagai ujian, Maulana melangkah penuh percaya diri ke hadapan rakyat, tanpa secarik pun naskah untuk mengarahkan kata-katanya.
Ia hadir dengan visi, misi, dan program yang mengalir begitu alami, seolah-olah setiap gagasan yang ia ucapkan telah terpatri dalam dirinya.
Diksi-diksi yang Maulana pilih begitu tajam, namun tetap lembut, ibarat kilauan pedang Athena mewah dalam penampilan, tajam dalam penyampaian, namun santun dalam peruntukannya.
Sementara itu, di sisi lain panggung, HAR seolah tampil seperti Icarus yang dengan sayap yang terlalu rapuh terbang terlalu dekat ke matahari.
Ia hadir membawa teks, bergantung pada setiap kalimat yang tertulis di hadapannya, menciptakan jarak yang terlihat jelas antara dirinya dan substansi yang ia sampaikan.
Intonasinya yang tak pasti, diksi yang mengalir seadanya, serta gestur yang goyah, menggambarkan sosok yang kehilangan arah, berbeda dari Maulana yang mantap dan yakin.
Penampilan HAR yang terbatas pada teks bukan hanya menunjukkan minimnya penguasaan, tetapi juga menciptakan jarak emosional dengan khalayak, yang justru mencari kedekatan dan kejelasan.
Debat ini pun berubah layaknya arena pertarungan para dewa di Olimpus.
Maulana, dengan ketajaman pemikiran dan kepiawaiannya dalam berbicara, bak Hermes sang pembawa pesan, melantunkan visi dan misi dengan cemerlang.
Sedangkan HAR tampak goyah, seperti Prometheus yang terikat, berjuang melawan beban teks yang mengikatnya.
Perbedaan yang mencolok ini menjadi refleksi bagi masyarakat Kota Jambi, layaknya para dewa yang menilai siapa yang pantas menduduki tahta kota.
Dalam balutan sastra ini, Maulana adalah jawaban atas kerinduan masyarakat terhadap pemimpin yang tak hanya tangguh, namun juga memiliki jiwa kepemimpinan sejati.
Masyarakat Kota Jambi pun, seperti penonton di Olimpus yang arif dan penuh pengharapan.
Dapat melihat bahwa kehadiran Maulana-Diza bukan sekadar sosok dalam panggung politik, namun sosok yang siap mengemban masa depan kota ini dengan ketangguhan, kecerdasan, dan kesantunan.
Pada akhirnya, suara rakyat adalah takdir yang menentukan arah cerita epik ini dan bagi Kota Jambi, Maulana-Diza adalah pahlawan yang telah membuktikan dirinya di medan laga.
0 Komentar